JAKARTA – Mahasiswa penerima Beasiswa Otonomi Khusus (Otsus) Papua di luar negeri telah diminta untuk pulang ke tanah air oleh pihak kampus karena uang kuliah tak kunjung dibayarkan. Saat dimintai keterangan, Pemerintah Provinsi Papua menyatakan tidak ada uang.
Sebanyak 3.178 mahasiswa Papua menerima beasiswa Siswa Unggul Papua dan dibiayai untuk kuliah di dalam maupun luar negeri, namun Pemprov Papua menunggak pembayaran uang kuliah sejak 2022. Penerima beasiswa yang berkuliah di luar negeri tidak dapat mengikuti perkuliahan, dan imbasnya mereka akan dideportasi karena visa pelajar mewajibkan mereka untuk berkuliah.
BACA JUGA:
Dilansir dari laman BBC, Jumat (8/12/2023), salah satu orang tua siswa program ini, John Reba, merasa bahwa pemerintah tidak serius dengan pendidikan anak-anak Papua.
"Anak-anak kami ini direkrut karena adanya Undang-Undang Otsus yang diberlakukan di Papua, ada Otsus yang diimplementasikan di Papua. Kalau sampai ini gagal karena pemerintah tidak punya uang itu kan sesuatu yang memalukan," kata John.
Salah seorang penerima beasiswa, Calvin Valdira Hamadi, mengaku begitu senang ketika dinyatakan lolos seleksi beasiswa unggul Papua untuk kuliah sarjana di jurusan Matematika Terapan, Universitas Utah, Amerika Serikat pada 2020 lalu. Namun mimpinya membangun Papua itu pupus pada pertengahan jalan dikarenakan pemerintah Indonesia tak lagi membayarkan uang kuliah.
BACA JUGA:
Calvin mengaku sudah "amat sangat lelah" menagih komitmen pemerintah untuk membiayai kuliahnya. Di sisi lain, pihak kampus sudah kerap memberikan perpanjangan waktu dan tidak lagi bisa mentoleransi tunggakan pembayaran. Calvin terancam putus kuliah dan dideportasi.
"'Tidak bisa, sudah tidak bisa. Waktu yang kami berikan sudah lama'," kata Calvin, mengulang pernyataan Universitas Utah kala dia memohon perpanjangan waktu menyelesaikan tunggakan pembayaran uang kuliah pada awal November 2023 lalu.
Pemerintah Tidak Ada Uang untuk Membayarkan Uang Kuliah Penerima Program Otsus Papua
Pada 1 November 2023, Calvin menerima surat yang menyatakan bahwa pembayaran uang kuliahnya sebesar US$8.316,49 (Rp129 juta) telah jatuh tempo. Nominal itu pun hanyalah tunggakan sejak semester Juli. Perhitungan Calvin, total tunggakan keseluruhan uang kuliahnya mencapai sekitar US$50.000 (Rp776,85 juta).
Awalnya pihak universitas masih memberi tenggat waktu 18 hari untuk pelunasan, sehingga Calvin dapat mendaftar untuk ikut semester selanjutnya. Namun saat Calvin menghubungi Badan Pembangunan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Papua, petugas dari seberang telepon menyatakan bahwa pemerintah "Tidak ada uang". Tenggat yang diberikan pun hangus tanpa solusi.
"Kami bilang, 'Halo bu, pembayaran kami diberikan deadline 18 hari. Apakah kira-kira ada update atau informasi?' Mereka cuma bilang, 'Tidak ada uang'. Begitu saja. Sekalimat doang, 'Tidak ada uang'. Sudah, tidak ada selamat pagi atau apa," jelas Calvin menunjukkan kekecewaan.
Pihak Kampus Menyarankan Mahasiswa Pulang ke Indonesia
Calvin kembali menerima email dari pihak kampus, namun kali ini Universitas Utah menyarankan Calvin untuk kembali ke Indonesia dan mengumpulkan uang, lalu melunasi tunggakan biaya kuliahnya.
Calvin membagikan tangkapan layar email tersebut yang berbunyi, "Melihat bahwa Anda mengalami kesulitan keuangan karena hilangnya beasiswa. Jika Income Accounting tidak dapat membantu Anda memasuki semester Musim Semi 2024, mungkin yang terbaik adalah Anda kembali ke rumah sementara waktu untuk mendapatkan uang guna menyelesaikan tagihan Anda dengan universitas."
Melihat email itu, Calvin sangat merasa tertekan. "Aku bingung. Tertekan, stres, segala macam. Kalau sampai pertengahan Januari tidak ada pembayaran, aku akan pulang. Yang namanya visa pelajar itu kan tidak bisa menetap kalau tidak ada kuliahnya, ya sudah jadi pasti akan pulang," papar Calvin.
Pemprov Papua Tidak Menganggarkan Pendanaan Beasiswa Siswa Unggul Papua
Kepala Badan Pembangunan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Papua, Aryoko Rumaropen, menyatakan bahwa Pemprov tidak menganggarkan pendanaan beasiswa Siswa Unggul Papua ini di dalam APBD mereka pada 2022 dan 2023. Hal ini sebagai imbas dari revisi Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan pada 2021, yang menempatkan Provinsi Papua setara dengan kabupaten dan kota lainnya dalam hal penerimaan dana.